Seorang
kakek sedang mengajari cucuya untuk membuat kapal, pertama yang dia
lakukan adalah mengajak cucu tersebut pergi ke hutan untuk mencari
pohon-pohon kayu yang paling baik. Dia mengajari cucu tersebut untuk
melihat detil setiap pohon kayu yang akan cocok untuk setiap bagian
kapal. Untuk dak kapal dibutuhkan kayu yang lurus, untuk lambung kapal
dibutuhkan kayu dengan lengkungan yang sesuai dan untuk tiang layar
dibutuhkan kayu-kayu yang tinggi.
Sementara
melangkah dan belum menemukan kayu-kayu yang sesuai tersebut, sang cucu
mendapati pohon tua yang bengkok. Mengamati dengan seksama kemudian dia
bertanya kepada kakeknya. “Pohon ini bengkok, tidak cocok untuk dak
kapal, tidak pas untuk lambung kapal dan tidak cukup tinggi untuk tiang
kapal. Bolehkah pohon bengkok ini kita tebang kek ?, setidaknya bisa
untuk kayu bakar ?”.
Dengan bijaknya sang kakek menjawab : “Tidak
semua pohon kayu cocok untuk kapal nak ! Tetapi tidak juga harus
dijadikan kayu bakar. Bahwa pohon ini berada disini sampai tua, tidak
ditebang oleh para pencari kayu sebelumnya – pasti ada alasannya. Nanti
kita cari tahu alasannya, sekarang kita cari dahulu yang kita perlukan”.
Setelah kakek dan cucu ini ngubek-ngubek
hutan, merekapun lengkap menemukan kayu-kayu yang dibutuhkan untuk
membuat kapalnya. Untuk langsung pulang mereka terlalu capai, maka
mereka memutuskan istirahat dahulu. Setelah muter-muter mencari tempat
istirahat yang paling pas di hutan, mereka tidak menemukan tempat lain
kecuali di bawah pohon bengkok yang mereka temukan pertama kali tadi.
Sambil leyeh-leyeh
dibawah pohon bengkok tersebut, sang kakek teringat bahwa dia harus
menjelaskan ke cucu-nya yang sempat mau memotong pohon bengkok yang
menjadi tempat berteduh mereka ini “ Cucuku, rupanya inilah manfaat
pohon bengkok ini, dan barangkali inipula alasannya mengapa seluruh
pencari kayu sebelumnya tidak pernah memotong pohon ini – yaitu menjadi
tempat istirahat yang paling nikmat sebelum kita melanjutkan perjalanan
berikutnya”.
‘Pohon
bengkok’ inilah yang seringkali muncul dalam perjalanan hidup kita.
Kita mencari atau mengejar sesuatu tetapi yang kita temukan yang lain.
Kita buang yang lain tersebut karena kita tidak memahami manfaatnya,
padahal bisa jadi justru yang kita pandang tidak bermanfaat tersebut –
justru yang paling banyak manfaatnya.
“…
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS 2 : 216)
Bahkan
Allah juga menjelaskan tanda-tanda orang berakal adalah memahami bahwa
tidak ada yang sia-sia dalam setiap ciptaan Allah : “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”” (QS 3 : 190-191)
Dalam
skala mikro, ‘pohon bengkok’ tersebut juga muncul dalam perjalanan kami
memperkenalkan emas atau Dinar di komunitas pengunjung situs ini. Enam
tahun memperkenalkan Dinar sejak 2007, benar saja trend harga Dinar
mengikuti prediksi dan teori yang kami pahami. Naik terus selama empat
tahun sejak 2007-2011, tetapi kemudian ‘pohon bengkok’ berupa kejatuhan
harga emas kita temukan di tahun 2012 dan khususnya lagi 2013 ini.
Maka
dalam menyikapi kejatuhan ini masyarakat pada umumnya terbagi menjadi
dua kelompok yaitu seperti sang cucu di cerita tersebut di atas, atau
yang bertindak bijak seperti sang kakek – mencari makna dibalik
keberadaan ‘pohon bengkok’ ini.
Kami
dapati mayoritas komunitas situs ini bertindak bijak seperti sang
kakek, tidak ‘membakar’ – menjual - justru pada saat harga yang rendah.
Sebaliknya menjadi kesempatan untuk mengejar ketinggalan bagi yang belum
mengenal Dinar sebelumnya. Bayangkan kalau Dinar naik terus,
pengenalannya belum sempat luas sudah menjadi terlalu mahal – karena
tidak akan terkejar oleh rata-rata kenaikan penghasilan kita.
Kami
juga mendapati hikmah lain bagi seluruh penggerak emas dan Dinar baik
individu, maupun institusi seperti perbankan dlsb. Bila emas naik terus
seperti yang terjadi antara 2007-2011, kemungkinan besar spekulasi akan
meningkat dan bisa menganggu perputaran ekonomi di sektor riil. Lihat
produk-produk berbasis emas dunia perbankan syariah yang sempat menjadi
primadona produk mereka di tahun 2011.
Dengan
adanya ‘pohon bengkok’ turunnya harga emas dua tahun terakhir
insyaAllah membuat masyarakat lebih bijak. Bahwa emas atau Dinar
hanyalah salah satu alat untuk mempertahankan nilai dan melindungi jerih
payah kita dari gerusan inflasi – selagi kita belum bisa memutarnya
sendiri. Bagi yang sudah mampu mengelolanya untuk memutar sektor riil
sendiri, insyaAllah ini akan lebih baik.
Maka
‘pohon bengkok’ – pun kita butuhkan keberadaannya, agar kita bisa lebih
bijak, agar kita bisa beristirahat sejenak untuk siap-siap melaksanakan
perjalanan berikutnya. InsyaAllah.
Ditulis oleh Muhaimin Iqbal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar